Crew Blog | Anis Hamidati: A Yogyakarta Homecoming
- Posted on 18 Aug 2015
- In Crew Blogs, Newsletter, Teachers
The city that I was born, Salatiga, is about two hours drive from Yogyakarta. So when I heard of the plan for Hōkūleʻa’s crew to visit Yogyakarta to pay respect to the land and to visit the Borobudur temple, I jumped at the opportunity to introduce the crew to my home culture. More importantly, for myself as a sojourner, it was a chance to connect between my homeland and my current home in Hawaiʻi.
[Bahasa] Saya terlahir di Salatiga, sekitar dua jam perjalanan dari Yogyakarta. Oleh karena itu, setelah mendengar rencana awak Hokulea untuk mengunjungi kota Yogyakarta sebagai bentuk penghormatan dan juga untuk mengunjungi candi Borobudur, saya langsung mengambil kesempatan untuk ikut. Adalah suatu kehormatan untuk dapat mengenalkan budaya sendiri kepada para awak. Ini juga menjadi kesempatan saya untuk bisa menghubungkan antara kampung halaman dengan tempat saya tinggal saat ini di Hawaii.
The Indonesian planning team assisting Hōkūleʻa’s Mālama Honua voyage from the East-West Center and Hawaii-Indonesia Chamber of Commerce (HICHAM) connected us to those whom we would be meeting during our visit. We were privileged to meet with Borobudur Conservation Office and Yogyakarta’s Governor, His Majesty Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Tim perencana kunjungan Hokulea ke Indonesia yang berasal dari East West Center dan Kamar Dagang Hawaii-Indonesia (HICHAM) menjadi penghubung dengan pihak-pihak yang akan kami temui dalam kunjungan ke Yogyakarta. Kami mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Balai Konservasi Borobudur dan juga Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Our day began before the sun was up. We hiked to Punthuk Situmbu, a hill facing Borobudur temple, and waited for the sun to rise. Our effort was awarded with a majestic view of Borobudur temple amongst the flora as the misty morning cleared up when light and heat gradually descended.
Going to Borobudur in the morning presented us the opportunity to see those who were working to conserve the temple. Restoration and renovation are never ending in the largest Buddhist temple in the world, as evident in the work of Mr. Werdi, a retiree whom we met supervising and teaching the younger generation of workers. He has been working on the temple since 1973, and although retired in 2010, his knowledge and skills are still much needed.
Hari kunjungan kami dimulai sebelum matahari terbit dengan menaiki bukit Punthuk Situmbu yang menghadap ke candi Borobudur. Seiring naiknya matahari yang membawa cahaya dan kehangatan, kami mendapati pemandangan indah Borobudur diantara hijaunya daerah disekeliling candi.
Kedatangan kami ke candi pada pagi hari membuat kami bisa melihat mereka yang melakukan konservasi. Kegiatan restorasi dan renovasi seakan tidak ada selesainya di candi Buddha terbesar didunia ini. Ini tercermin dari Pak Werdi, seorang pensiunan saat kami temui sedang melakukan pengawasan dan mengajari generasi muda pekerja. Beliau telah bekerja di candi sejak 1973. Walaupun sudah pensiun sejak 2010, beliau masih terus dipanggil untuk menularkan pengetahuan dan keterampilannya.
What was most interesting for the crew was perhaps the Samudra Raksa ship, housed in a museum within the temple compound. The traditional ship was constructed based on the reliefs of ships found in the temple. Although the reliefs were based on a Buddhist holy book, they are thought to reflect the living conditions of Borobudur’s surrounding when the temple was built in the 9th century.
The story of Samudra Raksa ship parallels that of Hōkūleʻa, in which the intention for it to be built was to prove the greatness of the seafaring ancestors. In 2003, the ship sailed the ancient Cinnamon Shipping Route to Madagascar and reaching Ghana before it was dismantled and then reassembled in the museum. I was proud to learn of Samudra Raksa’s successful voyage, and the feeling was reinforced further after hearing visitors express their pride upon learning that Indonesia’s seafaring ancestors were able to travel great distance by using similar traditional boats. This enabled me to understand even more of the pride that Hōkūleʻa has given to the Hawaiians, as Samudra Raksa has done amongst Indonesians.
Yang paling menarik bagi awak Hokulea mungkin adalah kapal Samudra Raksa yang berada dalam museum disekitaran candi. Kapal tradisional ini dibangun berdasarkan relief kapal-kapal yang ditemukan di dinding candi. Walaupun relief di candi didasarkan dari kitab suci agama Buddha, penggambarannya diperkirakan merefleksikan kondisi kehidupan masyarakat disekitar saat candi dibangun di abad ke-9.
Cerita kapal Samudra Raksa mirip dengan Hokulea, dimana tujuan pembangunannya adalah untuk membuktikan kebesaran maritim para leluhur. Kapal tersebut berlayar di tahun 2013 mengikuti Jalur Kayu Manis ke Madagaskar sebelum akhirnya sampai di Ghana. Setelah dari sana, kapal tersebut dibongkar dan dipasang kembali di museum. Rasa bangga saya terhadap keberhasilan anak bangsa makin menjadi setelah mendengar para pengunjung museum lainnya mengekpresikan kebanggaan mereka saat mengetahui bahwa nenek moyang orang Indonesia yang adalah pelaut handal mampu berlayar jauh dengan kapal tradisional yang serupa. Ini membuat saya lebih mengerti akan rasa bangga yang ditimbulkan oleh Hokulea untuk orang Hawaii, seperti halnya kapal Samudra Raksa untuk orang Indonesia.
In the afternoon, we met His Majesty Sri Sultan Hamengkubuwono X, the Governor of Yogyakarta Special Region. It was a great honor to meet the man who is both a leader of perhaps the most prominent Sultanate in Indonesia and a leader of a modern provincial government. Because of this, we thought that the meeting would be strictly formal. What we found was contrary. Ngarso Dalem, as he is affectionately referred to as, had welcomed us warmly into his office. We shared the story of Hōkūleʻa and the Mālama Honua voyage while he shared stories about Yogyakarta and the culture of the people. The crew presented several gifts including patchwork from the children of Hawaiʻi among other gifts from the islands, and he gave to the crew a silver miniature of a ship to bless the voyage.
Di siang harinya kami menemui Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Adalah kehormatan bagi kami untuk dapat bertemu dengan sosok yang adalah pemimpin dari yang mungkin adalah Kesultanan paling terkemuka di Indonesia dan juga pemimpin pemerintahan propinsi yang modern. Ini membuat kami mengira bahwa pertemuannya akan sangat formal. Namun yang terjadi adalah sebaliknya dimana kami diterima dengan hangat oleh Ngarso Dalem. Kami berbagi cerita tentang Hokulea dan perjalanan Malama Honua dan beliau bercerita tentang Yogyakarta dan budaya penduduknya. Para awak menyerahkan beberapa oleh-oleh dari Hawaii termasuk kain perca buatan anak-anak Hawaii diantara oleh-oleh lainnya. Beliau pun memberikan miniatur kapal yang terbuat dari perak untuk memberkati perjalanan Hokulea.
Being part of the crew in this trip has given me a new perspective in seeing my culture. I thought of myself to be knowledgeable about my own culture and people, but I found myself in the similar position as other crewmembers: as constant learners to the places we visited, whether it is at home or anywhere else on the globe.
Menjadi bagian dari awak dalam perjalanan ini telah memberikan saya perspektif baru dalam melihat budaya sendiri. Sebelumnya saya mengira bahwa pengetahuan tentang kebudayaan dan penduduk mengenai kampung halaman saya sudah cukup luas. Pada kenyataannya saya merasa dalam posisi yang sama dengan awak lainnya, yaitu sebagai orang yang selalu belajar tentang tempat-tempat yang kita kunjungi, apakah dikampung halaman atau dibagian dunia lainnya.
Please help keep us sailing for future generations. All contributions make a difference for our voyage. Mahalo nui loa!